Breaking News



Tak Ada Lagi Remedi dan Tugas di SMA Impian, SMA Negeri 1 Kota Padang Panjang karena Rapor Sudah Diprin

foto suaraindo.id


Ketika saya mendapati rapor anak saya pada mata pelajaran Matematika bernilai 77. Hanya Matematika saja. Selebihnya 85 ke atas hiba hati saya.

Mengapa saya berhiba hati? Ternyata setelah dilakukan konsultasi dengan guru mata pelajaran, wali kelas, guru BK. dan Kepala ditemukanlah: 

KKM di sekolah impian 80. Jika guru Matematika ini memberi nilai 77 berarti anak tidaklah tuntas dalam belajar di sekolah tersebut. Tidak tuntas berarti sama dengan merah. 0, 3 lagi agar nilai itu tuntas. Bisakah ini diperjuangkan?

Tentu saja bisa jika ditilik dari hak anak pada Permendikbud Nomor 23 tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pasal 1 dan ayat 1.

Ketika diajukan keberatan terhadap guru, mengapa anak tak tuntas pada pelajaran Matematika saja sedang mata pelajaran lain semua aman dan bagus, mereka se-rumah pula di asrama, guru berdalih mengajari anak mandiri.

Mandiri dalam konteks apa ya? Sudah diberikah rambu-rambu mandirinya? Bisakah anak dituntut mandiri tanpa ada rambu-rambu dan kategori mandiri?

Tuntutan guru atas anak mandiri tentulah harus jelas. Misalnya tak boleh berurusan dengan guru di asrama mengenai Matematika. Orang tua tak ada urusan dengan proses belajar kita, dan rajinlah.

Sementara anak usia 17 tahun masih terkategori di bawah umur masih butuh wali dan orang tua mengingat Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seseorang yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau perwalian adalah yang belum berumur 18 tahun.

Pada saat anak berkasus di sekolah tentang Matematika, kepada siapa guru dan anak mengadu jika bukan kepada pembimbing asramanya? Begitupun keberatan atas nilai itu saya ajukan kepada pembimbing asrama, suami guru Matematika, beliau enteng menjawab.

Urusan sekolah di SOP asrama bukan wewenang pembimbing asrama. Urusan sekolah, ya di sekolah sedangkan urusan di asrama, ya di asrama. Tak ada kaitan antara asrama dengan sekolah.

Duh, bagaimana sebuah sekolah bisa berkebijakan seperti itu, sedang pendidikan bisa berhasil dan bermutu jika ada kolaborasi antara lingkungan rumah (asrama) dengan pihak sekolah, kolaborasi antara guru di sekolah dengan orang tua, dan sejatinya jika anak di asrama, tentu dengan pembimbing asrama mencari solusi.

Andai SOP asrama seperti itu, diketahui sejak awal masuk oleh orang tua siswa, tentu haram bagi saya selaku orang tua memasukkan anak ke asrama tersebut.

Jika SOP asrama saya ketahui seperti itu, tentu saya tak mungkin memasukkan anak saya ke asrama lebih baik dalam bimbingan saya di rumah. Bak pepatah Minang mengatakan, "Cando mambali kuciang dalam karuang, mambali ikan dalam aia."

Seperti membeli kucing dalam karung, tak terlihat ukuran, sehat, dan bagus tidaknya kucing. Seperti membeli ikan di dalam air. Tak tahu berapa kilo atau berapa ekor.

Ketika saya tanya kepada anak, apakah guru pernah memanggil secara khusus di sekolah atau di asrama? Ternyata guru tak pernah memanggil anak sekalipun. Guru hanya berbicara sambil lewat, " Mana tugasmu?" "Mana remedimu?"

Demikian pula kita saya konfirmasi kepada guru, apakah anak pernah dipanggil khusus dan ditanya kendalanya. Jawaban guru tidak. "Karena saya ingin anak ibu mandiri." Begitu lagi jawaban guru.

Sebelum siswa dites ulang atau remedi, siswa seharusnya mendapatkan pelayanan remedial dengan cara antara lain:

1. Bimbingan secara individual, bisa dengan memanggil siswa secara khusus. Perlakuan ini tak ada membedakan siswa SD, SMP, dan SMA. Siswa begitu bunyi di Undang-Undang Pendidikan. Tetapi guru Matematika ini tak pernah melakukan.

2. Bimbingan siswa secara kelompok,

Kegiatan melibatkan dua orang siswa atau lebih agar lebih efektif dalam proses belajar mengajar,terutama remedi untuk anak asrama.  Contoh pembelajaran matematika. Anak bisa diskusi dengan anak luar.

3. Pemberian tugas-tugas, bisa juga solusi remedi asal soal jelas, nomor soal jelas, dan tentu guru juga tetap mengobservasi anak.

4. Pembelajaran ulang, jika anak ternyata belum faham materi yang diberikan guru. Apalagi matematika IPS berbeda dengan matematika lain.

5. Pemanfaatan tutor sebaya. Paling gampang meminta temannya menjadi guru. Namun tetap diawasi oleh guru. Bukan beri tutor teman sebaya, guru kabur.

Setelah itu baru anak diberi tes ulang.

Tapi, pada kenyataannya guru tak melakukan itu. Semua masih terjadi bahwa guru tidak pernah melakukan layanan remedial seperti itu. Ketika dikonfirmasi ke sekolah berhadapan langsung dengan guru Matematka, guru wali kelas, dan guru BK (Bimbingan Konseling).

Guru langsung saja memberi tes ulang. Berupa pemberian soal remedi. Soal diberikan, 1 naskah soal berdua dengan teman. Lalu guru pun pergi.

Siapa cepat dapat naskah soal remedi tersebut, dia dapat karena guru sudah kabur dan  tak mengawasi proses remedi. Setelah soal diberikan, guru kabur. Anak agresiflah pemenang mendapat soal.

Sejatinyanya remedi itu terstruktur, menggunakan waktu khusus. Diawasi oleh guru sampai selesai. Dimulai dengan menjelaskan kembali materi. Menjelaskan materi dengan prosedur di atas. Secara bimbingan individual karena anak belum mengerti.

Secara berkelompok, pemberian tugas, tutor teman sebaya pun dilakukan jika perlu. Semua tentu dalam pengawasan guru.

Setelah anak faham barulah tes ulang dilaksanakan. Soal tes yang diberikan tidak sama dengan soal tes yang sudah dipakai sebelumnya.  Demikian juga tata pelaksanaan tak diawasi baik di sekolah maupun di asrama.

Menilik dari pernyataan guru pembimbing asrama, bahwa tak ada bimbingan masalah sekolah di asrama, lalu untuk apa uang bimbingan asrama. Dari wakil kurikulum diketahui anak tetap telat bangun tidur, hafalan Al-Quran pun tak ada penambahan. 

Lebih miris, bila tong sampah penuh, maka pembimbing asrama yang merupakan suami guru Matematika ini, melempar  sampah-sampah itu ke dalam kamar siswa asrama.

Pepatah Minang mengatakan, makan tebu sampai ke tanah-tanahnya. Ini pula yang terjadi kepada Anak di atas. Jangankan memberitahu orang tua, guru wali kelas, dan guru BK pun tak pernah diberitahu guru. Guru menunggu dan menunggu anak mandiri tanpa bimbingan remedi dan pemberian tugas yang tepat.

Menurut anak, ia tak faham materi, kemudian soal berebutan, dan nomor soal ditugaspun tak tertulis diberitahu  sang guru. Hanya berujar, "Lengkapi tugas dengan mencari buku teman yang tugasnya lengkap." Duh, guru menyuruh anak menyontek.

Sedang pembiasaan karakter di sekolah itu 'haram menyontek.'

Ketika terjadi diskusipun, alasan guru memperlakukan demikian agar anak mandiri. Bisakah kemandirian terukur dan tercipta dengan sistematika di atas? Jiwa anak berontak tak mau menyontek sedang guru mengintruksikan menyontek.

Guru seharusnya punya arsip soal sesuai jumlah anak, arsip tugas di buku nilai, dan catatan nilai tugas, dan nilai remedi anak. Anehnya ketika bertemu dengan guru tersebut di ruang BK, bersama guru wali kelas dan BK, guru mengaku bahwa tak tahu tugas si anak yang belum ada, belum lengkap, dan tuntas.

"Manalah Ibu tahu tugasmu yang belum lengkap." Kata beliau.

Guru mengaku setiap bertemu dengan anak, guru bilang, "Mana tugasmu, nak?" Sedang anak sendirian pada jurusan IPS di asrama. Siswa pun berjenis kelamin laki-laki. Hp tak ada. Ke mana anak akan meminta dan bertanya. Lagi alasan guru biar anak mandiri.

Administrasi guru dipertanyakan dalam hal ini. Hal seperti inilah yang membuat hati hiba ketika wali kelas, guru BK, dan kepala sekolah tetap membela gurunya, bukannya berdiri di tengah mencermati apa kekurangan guru dan apa kekurangan siswa.

Ketika rapor dibagikan berpuluhlah anak dan orang tua menyerbu wali kelas menanyakan nilai tak tuntas ini. Mirisnya di antara anak-anak tersebut ada yang sudah remedi dan ada yang belum remedi karena alasan pembiasan mandiri. Rapor diprin meski anak belum tuntas.

Sementara di sekolah setara baik SMA Negeri dan SMK Negeri di bawah Dinas Pendidikan yang samamasih berpola lama, sesuai kurikulum 2013, rapor belum diprin jika anak belum tuntas.

Tetap memberi anak kesempatan remedi dulu dan memanggil orang tua. Barulah rapor diprin. Al hasil banyaklah anak berapor tak tuntas termasuk anak saya.

Saat dikonfirmasi kepada pengawss sekolah dan kepala sekolah, dalam rapat kepsek menyampaikan, kalau masalah ini sudah di beri tahu ke cabdin, dan petunjuk cabdin adalah,  masalah nilai menjadi wewenang guru bersangkutan, tanpa intervensi dari siapapun.

Solusi sekolah katanya, hanya mengejar nilai di semester 2. Misalnya anak saya harus mampu meraih nilai 83 minimal di semester 2 agar rerata  menjadi 80. Pertanyaannya, apakah rapor seperti itu tak masalah dibawa saat mendaftar di PerguruanTinggi?

Semoga Dinas terkait menelah keputusan yang menurut wali murid merugikan itu kembali. 

Posting Komentar

0 Komentar